Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan.
Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya; “(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami memanggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” (Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam (pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing Kami jadikan orang-orang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); “dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang me¬nyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)
Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.
Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus masalah umat Islam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penamaan khalifah: apakah khalifah saja (tanpa embel-embel), atau khalifah Rasulullah dan khalifah Allah? Sebagian ulama membolehkan penggunaan gelar khalifah Allah, dengan merujuk kepada ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa “Dia menjadikanmu khalifah-khalifah atau pewaris bumi.” Namun, jumhur ulama tidak membolehkan penanaman gelar khalifah Allah karena ayat Al-Qur’an tidak berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar. Bahkan, Abu Bakar sendiri telah melarang pemanggilan dirinya dengan khalifah Allah. Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Menurut Dhiauddin, gelar khalifah setelah Rasulullah digunakan untuk menjadi antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran sebuah pemerintahan individu yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.
Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekha¬lifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.
Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keharusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.
Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepemimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, sebagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem politik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatullah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.
0 komentar:
Posting Komentar